Senin, 02 Juli 2007

Quo vadis CPO Indonesia?

Quo vadis CPO Indonesia?

Oleh Martin Sihombing
Wartawan Bisnis Indonesia

Krisis sudah 10 tahun berlalu. Kita bersama-sama telah merasakan pedihnya. “Enough is enough!” ujar Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah, dalam acara Banker’s Dinnner 2007. Saat ini, Burhanuddin Abdullah menegaskan, Indonesia akan memasuki a defining moment, sebuah tahun penentuan.
Seruan orang nomor satu di BI itu bukan untuk menakut-nakuti. Cukup menginsipirasikan langkah untuk mewujudkan ‘mimpi’ Yayasan Indonesia Forum yang memproyeksikan Indonesia akan menjadi bagian dari lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita sebesar US$18.000 pada 2030 dan memproyeksikan 30 perusahaan Indonesia akan masuk daftar Fortune 500 companies. Jika tahun penentuan ini rusak, mimpi akan tinggal di awang-awang.
Padahal, “Itu cita-cita maha besar,” tutur Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara pemaparan Visi Indonesia 2030 oleh Yayasan Indonesia Forum yang diketuai pengusaha Chairul Tanjung dengan para pembina yayasan beberapa menteri ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu, 22 Maret lalu.
Indonesia bukanlah negara maju. Pertumbuhan angka pengangguran masih tergolong besar. Dalam daftar negara menurut PDB (nominal) per kapita, data International Monetary Fund (IMF) pada 2005, masih berada di peringkat 115 sebesar US$1.640.
Kendati, beradasarkan laporan terbaru Bank Dunia bertajuk East Asia & Pacific Update yang diluncurkan 5 April lalu di Jakarta, pendapatan per kapita di negara-negara yang pernah dilanda krisis rata-rata telah melebihi tingkat prakrisis.
Saat ini, pendapatan per kapita Indonesia secara nominal adalah US$1.300. Namun, karena tingkat harga barang dan jasa di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan dengan di Amerika Serikat, pendapatan per kapita Indonesia terkoreksi ke atas menjadi sekitar US$4.000.
Hal itu dihitung dengan metode paritas kemampuan membeli atau purchasing power parity (PPP) yang menghilangkan bias harga setempat. Tingkat pendapatan per kapita yang digolongkan tinggi diperhitungkan sedikitnya US$6.000-US$7.000 berdasarkan metode PPP.
Itu sebabnya, untuk menjaga ritme yang berkesinambungan, instrumen atau kebijakan ekonomi ditujukan untuk ikut mendorong pertumbuhan ekonomi. Bukan menjadi penghambat lebih-lebih menggagalkan. Apalagi hasilnya hanya menguntungkan negara lain.
Itulah sebabnya, ketika gaung menggelontorkan pajak ekspor (PE) sebagai instrumen untuk menekan harga minyak goreng (migor), banyak menuai kritik,”Perlu dipikirkan lebih jauh.” Lantaran, ada potensi yang justru membuat target pembangunan menjadi tidak maksimal dan cenderung terancam gagal.
“Peningkatan PE CPO bakal membuat petani kelapa sawit merugi,” kata Anton Apriyantono, Mentan. Dia menghimbau supaya rencana menaikkan PE CPO harus dilakukan dengan penuh perhitungan. “Kenaikan PE CPO terutama harus memperhatikan dampak terhadap petani kelapa sawit.”
Diakui, seperti halnya beras, CPO merupakan komoditas strategis dalam ekonomi Indonesia. Pertama, sebagai bahan baku untuk minyak makan utama, harganya memainkan peran penting dalam mendeterminasi angka inflasi ekonomi Indonesia.
“The availability of “essential commodities” at affordable prices is key to the Indonesian government’s policy of maintaining economic and political stability,” tulis Mohamad F. Hasan, Michael R. Reed and Mary A. Marchant dalam hasil analisa mereka bertajuk Effects of an Export Tax on Competitiveness: The Case of the Indonesian Palm Oil Industry.
Tapi, dari studi empiris efek pajak ekspor Akiyama (1992); Bruce and Perez-Garcia (1992); Warr (1997); and Marks, Larson, and Pomeroy (1998), ditegaskan PE memberikan efek pada distribusi pendapatan (income) dari palm oil karena mereduksi harga produk palm oil, ceteris paribus, dan benefiting consumers.
Belum lama ini ada acara Price Outlook di Malaysia. Dalam sambutannya di konferensi internasional Price Outlook itu, mantan menteri senior Malaysia yaitu Primary Industries Minister Dt. YB. Lim Keng Yaik menyatakan the irony is that we developing countrie have to tax our industry, yet we can compete in the global market. “Thanks to Indonesian friends for the U$2 bilion additional income for Malaysia,” ujarnya.
Mengapa? Malaysia mendapatkan keuntungan sebesar US$2miliar sewaktu Indonesia mengenakan pajak ekspor 60% ditahun-tahun sebelumnya. Dengan keuntungan sebesar itu, Malaysia merajalela dipasar minyak sawit dunia karena dibantu oleh Indonesia melalui kebijakan yang dibuat secara sembrono.
Pada saat ini Pemerintah Indonesia kembali getol ingin menaikkan penerimaan dari pajak ekspor, dan rasanya tidak belajar dari kesalahan masa lalu.
Pesaing kita, Malaysia, pantang mengenakan pajak ekspor (kalau tidak dapat dikatakan mengharamkan pajak ekspor). Di sana diberlakukan cess yang besarnya (kira-kira) 15 ringgit Malaysia (RM/ton atau sekitar US$3,95/ton.
Alokasi hasil pungutan cess ini RM 7,2/ton untuk R&D melalui PORIM (Palm Oil Research Institute of Malaysia), RM 2/ton untuk promosi melalui MPOC, RM 1,75/ton untuk PORLA (Palm Oil Registration and Licensing Authority ) dan RM 4/MT untuk Safety Net Fund (dana cadangan stabilisasi harga sawit). Artinya, seluruh hasil pungutan kembali ke industri unggulan Malaysia tersebut.
Ketika Oktober 2005 isu mengenai PE CPO mencuat kembali, Reuters pada 6 Oktober (tentang Palm Oil Futures) menulis, Malaysian palm oil surged one percent on talk that Indonesia planned to restrict exports to ensure enough supply of oil at home for the Muslim fasting month of Ramadhan.
Malaysia, produsen dan eksportir palm oil terbesar dan akan memperoleh benefit dari adanya cut shipment dari Indonesia, mereka the biggest rival, meminjam istilah Bambang Aria, Direktur Komersial, PT. Bakrie Sumatera Plantations, Tbk.
Mereka masih ingat betapa besar manfaat yang bisa dipetik oleh Malaysia jika Indonesia betul-betul menaikkan pajak ekspornya. CPO Malaysia akan segera mempenetrasi pasar India, tujuan utama ekspor CPO Indonesia. Artinya, kembali pemerintah dan pengusaha Malaysia akan berterima kasih kepada Indonesia yang masih berdarah-darah dan tetap berjibaku membantu Malaysia.
Dengan produksi CPO nasional yang mencapai 16,5 juta ton, maka pengenaan PE yang berlebihan tidak ada manfaatnya, bahkan bisa merusak ekspor dan berpotensi meningkatkan penyelundupan.
Masih banyak masalah yang dihadapi pengusaha perkebunan seperti masalah keamanan, premanisme, pencurian, pengoplosan dan kencing dijalan yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Ini yang harus diselesaikan. Belum lagi kenaikan biaya produksi akibat dari meningkatnya semua biaya termasuk upah.(martin.sihombing@bisnis.co.id)

Tidak ada komentar: