Senin, 02 Juli 2007

Sepakbola Indonesia: Revolusi atau tertinggal?

Sepakbola Indonesia butuh revolusi. Seperti sebuah seruan politik. Mampukah itu diterjemahkan dalam terminologi sepakbola hingga tidak mengesankan sarat rivalitas kepentingan atau golongan atau faksi dalam terminologi ilmu politik ?
Sepakbola sarat dinamisasi seperti halnya kehidupan. Terhenti pada satu konsep pembinaan seperti misalnya sepakbola alat perjuangan –seperti yang dilakukan para pendahulu kita di era penjajahan dulu—justru akan membuat kita tidak mampu mengikuti arus persaingan.
Apalagi jika di kepala orang Indonesia, menjadi pengurus sepakbola adalah rupiah. Menjadi pengurus sepakbola adalah buang uang. Sampai kapanpun, slogan ‘Menuju Pentas Dunia” yang pertama kali didengungkan Azwar Anas dikala menjadi orang nomor satu di tubuh organisasi sepakbola tertinggi di Indonesia, yah sepakbola kita akhirnya hanya berada di bawah pentas dunia, hanya jalan ditempat di saat yang lain sudah berlari kencang di jalan tol.
Jepang, misalnya, ketika memproklamirkan hendak menjadi kiblatnya sepakbola dunia di kawasan Asia, tindakan yang diambil tidak lagi mengutak-atik pembagian wilayah kompetisi. Tapi revolusi dalam artian yang sesungguhnya yakni perubahan yang dilakukan secara cepat, yang kemudian ditambahkan menjadi tepat juga.
J-League pun digelar. Miliaran yen digelontorkan untuk menghidupkan fanatisme pada sepakbola. Pemain-pemain ternama, kendati sudah uzur dan tidak sedikit yang sudah dikategorikan pensiun, dipanggil. Mereka dengan segala sisa-sisa kehebatannya, disajikan kepada masyarakat Jepang. Zico, yang kini menjadi pelatih negeri itu, salah satu saksi sejarah perubahan alam pikir orang Jepang tentang sepakbola.
Bukan hanya itu. Promosi pun digerakan secara gencar. Sejumlah perusahaan yang dikategorikan raksasa dunia seperti Toyota, diajak ikut campur membidani lahirnya dunia sepakbola Jepang yang baru yang lebih menyenangkan dan membanggakan. Mereka diajak masuk menjadi penyokong klub, misalnya.
Cara pandang terhadap sepakbola yang lama –di mana sepakbola dijadikan olahraga sambilan—dicabut, tuntas. Warga Jepang seperti dipaksa untuk memiliki pengertian sepakbola adalah soal harga diri. Jepang pun mampu.
Upaya keras menampakkan hasil. Prestasi masuk hingga perempatfinal di Piala Dunia 2002, bukti. Hidetoshi Nakata pun kini mentas di Liga Italia. Yah bukti, memajukan sepakbola memang harus dengan revolusi. Terutama alam pikir. Revolusi di sepakbola bukan semata mengutak-atik bentuk kompetisi dengan dua atau satu wilayah.
Tapi jauh dari itu. Menata ulang filosofi sepakbola di Indonesia. Kita harus menarik alam pikir yang ‘amatir’, yang ecek-ecek dari posisinya dan dibuang untuk digantikan dengan alam pikir sepakbola yang lebih moderen, bisnis dan harga diri.
Tentu, itu tidak lantas melahirkan kesempurnaan dalam sekejap. Ada proses yang ahrus dilaui. Revolusi itu adalah perubahan yang dilakukan secara total. Dan problematika sepakbola di Tanah Air tercinta ini, sudah tidak lagi sedikit. Berbagai persoalan telah mengakumulasi menjadi satu persoalan yang rasanya sulit untuk dituntaskan. Apalagi, revolusi itu perlu disosialisasikan dan diyakinkan kepada semua orang di mana ujungnya adalah tingginya nilai harga diri bangsa Indonesia di mata dunia.
Kita tidak lagi bisa menjadikan sepakbola mediasi popularitas diri. Itu murahan. Apalagi dijadikan alat mencari makan semata tanpa perduli apa hasil atau prestasi pada tim yang diurus. Harus dipahami muara dari pengelolaan sebuah tim sepakbola adalah juara dan juara. Juaralah yang mampu mendatangkan rupiah, dolar dan sebagainya.
Terbayangkah oleh kita sepakbola dunia akan sehebat saat ini jika federasi sepakbola dari negara yang sepakbolanya tergolong paling hebat di dunia seperti Jerman, Inggris, Italia, Brasil, termasuk federasi asosiasi sepabola seperti UEFA dan FIFA, tidak berpikir yang orientasinya prestasi dan cenderung matre ?
Rasanya, sulit. Sepakbola mau tidak mau, setuju atau tidak setuju, di Indonesia apalagi, harus melakukan revolusi. Segera.
Tidak usah malu untuk mengatakan pola pikir kita terhadap sepakbola dunia ‘sana’ sudah jauh tertinggal. Sebutlah misalnya dengan Jepang, Korsel lebih-lebih lagi dengan negara-negara di benua Eropa dan Amerika.
Dengan langkah yang sudah dilakukan secara apa adanya saja kita sudah jauh tertinggal, apalagi jika kita pun tida mau membenahi diri secara tuntas terutama alam pikiran kita terhadap sepakbola.
Jangan-jangan, ketika orang sudah berbicara soal penggunaan teknologi di sepakbola, Indonesia masih berkutat soal “Biaya kongres di hotel anu belum dibayar”. Atau saat negara lain sudah bicara Piala Dunia, kita masih terus saja bicara Sea Games dan Piala Tiger. Kasihan deh, luh.

Tidak ada komentar: