Senin, 02 Juli 2007

Struktur industri minyak sawit Indonesia

TABEL ekspor produk turunan kela sawit 2006
Total ekspor: 12 juta ton CPO
CPO: 4,84 juta ton ( 41%)
Produk turunan CPO: (59%)
Pemain Utama ekspor CPO dan produk turunannya
KPN/Wilmar Group” (CPO 15%, produk turunan CPO 41%),
Musimas Group: 14% & 21%),
Sinar Mas Group: 14% & 5%),
Group PTPN: (CPO 10%),
Permata Hijau Group: (8% & 9%)
Sumber: KMSI




Oleh : DR Rosediana Suharto
Ketua Plh KOMISI MINYAK SAWIT INDONESIA

Saat ini sedang diadakan pembahasan yang intens dibawah koordinasi Departemen Perindustrian dengan semua pemangku kepentingan terutama Pemerintah mengenai Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah Industri Hasil Pertanian terutama minyak sawit (CPO), karet dan kakao.
Topik pembahasan yang paling hangat adalah mengenai nilai tambah industri CPO. Sesuai dengan Undang Undang Perkebunan no.18 tahun 2004, usaha industri pengolahan hasil perkebunan harus dapat menjamin ketersediaan bahan bakunya dengan mengusahakan budi daya perkebunan sendiri, termasuk perkebunan kelapa sawit. Berlainan dengan sektor karet dan kakao, yang mana bahan bakunya dihasilkan pekebun kecil / petani dan dibeli oleh prossesor untuk diolah menjadi bahan baku industri lanjutannya.
Siapa Produsen CPO ?
Pada 2005 total luas areal kebun kelapa sawit Indonesia adalah sekitar 5,5 juta ha, dimiliki oleh perkebunan negara (PTPN) sekitar 676.000 ha atau sekitar 12%, perkebunan swasta kurang lebih 2,9 juta ha atau 53% dan perkebunan rakyat sekitar 1,9 juta ha atau ± 35%, di samping itu sesuai dengan arahan kebijakan pemerintah sekitar 20-30% kebun swasta memiliki kebun plasma atau KKPA.
Perkebunan kelapa sawit swasta yang cukup luas misalnya dimiliki oleh PT Astra Agro Lestari, Sinar Mas group, PT London Sumatra , PT Minamas Gemilang, PT Asian Agri, PT Duta Palma, PT Bakrie Sumatera Plant, PT Salim Ivomas Pratama, PT Surya Dumai dan lain lain, selain memiliki kebun inti perkebunan tersebut juga memiliki kebun plasma atau KKPA yang cukup besar; dapat disimpulkan bahwa penghasil TBS terbesar di negeri ini adalah petani.
Hanya sebagian dari para pemilik perkebunan kelapa sawit ini yang memiliki industri hilir seperti refinery yaitu Sinar Mas, Astra, Salim, Asian Agri, Duta Palma dan beberapa perusahaan lagi dengan kapasitas yang tidak terlalu besar; industri oleochemicals seperti Sinar Mas dll, sedangkan biodiesel rata-rata masih dalam tahap perencanaan.
Produksi CPO Indonesia pada 2006 diperkirakan mencapai 16 juta ton, sebanyak 4 juta ton digunakan untuk konsumsi dalam negeri dan ± 12 juta ton diekspor dalam bentuk CPO dan produk turunannya ke berbagai negara seperti India, China, Uni Eropa, Pakistan, Timur Tengah dan beberapa negara lain. Sejak 2001 sampai saat ini, Indonesia hanya mengekspor rata-rata 41%-43% dalam bentuk CPO, selebihnya berupa produk turunannya.
Siapa produsen produk turunan minyak sawit?
Sampai 2006, total kapasitas terpasang Refinery Indonesia adalah ± 22 juta ton per tahun, sedangkan kapasitas terpakai hanya sekitar 50%; beberapa pemilik refinery terbesar adalah Wilmar Group (± 22%), Musimas Group (± 16%), PHS Group (± 8%), Salim group (± 5%), Asian Agri (± 4%) dan Sinar Mas (± 4%).
Besarnya kapasitas terpasang pabrik refinery dibandingkan dengan total produksi CPO yang ada, disebabkan pembangun pabrik refinery hanya membutuhkan waktu 12-15 bulan, sedangkan membangun kebun sawit sampai menghasilkan membutuhkan waktu 5 - 6 tahun, itupun panen pada 5-6 tahun pertama kandungan minyaknya masih rendah dan produksi baru bisa optimal pada umur 10 tahun ke atas.
Sebagai contoh dapat digambarkan bahwa untuk memenuhi kapasitas refinery 2.500 ton per hari dengan asumsi 330 hari kerja per tahun, maka dibutuhkan CPO sebanyak 825.000 ton per tahun. Sesuai dengan data statistik Indonesia bahwa produktifitas kebun kelapa sawit Indonesia adalah 3,5 ton minyak per tahun, maka dibutuhkan kebun sawit seluas 235.000 ha. Untuk membangun kebun sawit seluas 235.000 ha tersebut dibutuhkan waktu ± 10 tahun dan akan menyerap tenaga kerja 70.000 orang.
Produksi CPO Indonesia 2006 hanya 16 juta ton , diproduksi oleh berpuluh-puluh perusahaan perkebunan baik milik negara, swasta maupun petani/rakyat sedangkan industri refinery dengan kapasitas terpasang sebesar 22 juta ton per tahun, belum termasuk di dalamnya kapasitas industri biodiesel
Bila pemerintah menaikkan pungutan ekspor atau memberlakukan quota, dalam waktu paling lama 2 tahun ke depan kapasitas refinery akan segera bertambah sekitar 3– 4 juta ton per tahun, maka akan terjadi perbedaan harga antara CPO dan produk turunannya , hal ini akan segera disiasati oleh para pengusaha perkebunan swasta maupun negara untuk segera membangun refinery.
Akibatnya pihak yang paling dirugikan adalah petani karena harga TBS akan lebih rendah disebabkan harga CPO dalam negeri yang menjadi rendah, juga para pengusaha refinery kecil yang tidak memiliki kaitan dengan perkebunan akan makin sulit mendapatkan bahan baku CPO secara perlahan akan mati dan perbedaan antara kapasitas terpasang dengan kapasitas terpakai refinery di Indonesia akan makin besar.
Paberik Oleochemical dan Biodiesel
Jumlah pabrik oleochemical di Indonesia saat ini ada 6 unit di antaranya dimiliki oleh Sinar Mas, Cisadane, Musim Mas dan lain-lain, yang aktif hanya tinggal 4 unit saja, serta masih ada 1 unit milik Sawit Mas (Domba Mas) group dalam pembangunan. Industri Oleochemicals sebenarnya tidak banyak menggunakan CPO tetapi kebanyakan menggunakan turunan CPO berupa PFAD dan Stearin serta Palm Kernel Oil (PKO). Penggunaan CPO atau PKO tergantung dari jenis produk yang akan dihasilkan. Berbeda dengan industri oleochemical di Malaysia yang berkembang pesat dengan memproduksi bermacam-macam produk karena didukung oleh banyak hal antara lain infrastruktur, jaminan pasar dan tak kalah pentingnya penelitian yang dilakukan oleh Malaysian Palm Oil Board (MPOB) yang dilakukan secara terus menerus, terarah serta dengan dana penelitian yang besar.
Bagaimana dengan industri biodiesel Indonesia? Sebenarnya mempunyai peluang yang besar dan sangat terbuka; Pertumbuhan industri ini berjalan lambat karena masih dalam tahap awal serta kurangnya ketersediaan fasilitas infrastruktur, research and development yang handal, market intelligent dan market networking yang kuat sehingga belum memiliki target pasar dan jalur distribusi yang jelas.
Untuk pengembangan industri biodiesel sebaiknya diperlukan grand strategy dari pemerintah yang jelas dan bertahap supaya kebutuhan bahan baku untuk biodiesel tidak akan mengganggu kebutuhan bahan baku untuk sektor pangan khususnya CPO; atau dikembangkan kebun-kebun khusus yang menghasilkan CPO untuk kebutuhan biodiesel.
Ekpor CPO
Sebenarnya harga CPO di Indonesia selalu mengikuti perkembangan harga CPO di pasar International yaitu harga CPO Rotterdam dan harga CPO di Bursa Malaysia Derivatives (BMD) secara alami telah mengikuti mekanisme pasar. Sampai saat ini di Indonesia belum ada harga patokan yang menjadi acuan harga CPO Nasional (Indonesia benchmark price) seperti di Malaysia yaitu harga BMD dan harga MPOB.
Ada 2 tender penjualan CPO yaitu tender yang dilakukan oleh Kantor Pemasaran Bersama (KPB)–PTPN serta tender PT Astra Agro Lestari yang dilakukan secara terbuka dan transparan mulai dari Senin sampai Jumat, hasilnya diumumkan melalui media massa, di samping itu sebenarnya masih ada juga beberapa tender dari perusahaan lain di Medan yang dilakukan secara transparan dan professional namun tidak diumumkan hasilnya secara terbuka.
Dari total ± 12 juta ton CPO yang diekspor pada 2006, yang diekspor dalam bentuk CPO hanya ± 4,84 juta ton ( 41%) sedangkan sisanya dalam bentuk produk turunan CPO. Pemain Utama yang melakukan kegiatan ekspor CPO dan produk turunannya dari Indonesia adalah KPN/Wilmar Group (dalam bentuk CPO ± 15% dan produk turunan CPO ± 41%), Musimas Group (± 14% & ± 21%), Sinar Mas Group (±14% & ±5%), Group PTPN (hanya CPO ± 10%), Permata Hijau Group (± 8% & ± 9%).

Hambatan ekspor CPO dan produk turunannya

Karena pangsa produksi CPO (34%) telah melewati pangsa pasar minyak soya/kedele (29,3%), kekhawatiran pembeli sebagai produsen minyak lainnya termasuk minyak kedele yang terancam pasarnya terutama Eropa dan Amerika Serikat makin meningkat. Kekhawatiran ini terkaitkan dengan isu akan meningkatnya penggunaan minyak sawit intuk biodiesel. Pada saat ini isu yang paling populer untuk menangkal masuknya minyak sawit ke kedua negara besar tersebut ialah isu lingkungan, yang berkembang lebih lanjut ke masalah green house gas balance, competition food, local energy, medicines, biodiversity, economic prosperity, social well being dan lain lain, yang sulit akan terpenuhi oleh produsen kita. Belanda dan beberapa negara yang tergabung dalam Uni Eropa juga telah mengusulkan agar ketentuan tersebut diberlakukan kepada CPO dan produk turunannya termasuk biodisel. Penerapan kriteria ini akan dimulai pertengahan tahun 2007 ini, selain itu pembeli juga akan menfaatkan ketentuan WTO mengenai lingkungan hidup . Di samping itu saat ini produsen minyak sawit juga sudah dipusingkan oleh ketentuan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), dimana kriteria yang akan diterapkan atas persetujuan bersama belum tentu dapat dipenuhi apalagi masalah sosial ekonomi dan kesejahteraan serta ketentuan perburuhan di dalam negeri juga termasuk didalamnya.

Alangkah beratnya beban sektor minyak sawit ini bila masih harus dibebani Pungutan Eksport (PE) dan quota ekspor ,pada saat yang sama pasar luar negeri juga menerapkan tarif impor yang tinggi seperti di India ,serta dihadapkan pula dengan ketetuan WTO mengenai lingkungan yang pasti akan menyulitkan industri agribisnis nomor satu yang merupakan salah satu penyumbang perolehan devisa negara yang terbesar serta merupakan salah satu sektor usaha yang sangat padat karya ini.

Tidak ada komentar: